Jakarta, CNBC Indonesia – Tsunami kebangkrutan raksasa ritel alat-alat rumah tangga saat ini tengah terjadi di Amerika Serikat. Salah satunya seperti Bed Bath & Beyond yang memutuskan untuk menutup puluhan cabangnya di AS tatkala negara itu sedang mengalami inflasi.
Pengecer barang-barang rumah tangga tersebut rencananya akan menutup 56 lokasi dengan penjualan lebih rendah. Angka tersebut setidaknya mewakili sekitar 20% dari tokonya itu.
Penutupan ini merupakan bagian dari rencana yang lebih luas untuk mencoba menstabilkan keuangan perusahaan. Mengingat penjualan perusahaan terus menurun.
Pada akhir Agustus, Bed Bath mendapatkan lebih dari US$ 500 juta (Rp 7 triliun) dalam pembiayaan baru. Tenaga kerjanya juga semakin kecil, karena perusahaan itu memangkas staf perusahaan dan rantai pasokannya sekitar 20%.
Akibat langkah ini, saham perusahaan turun sekitar 38% sepanjang tahun ini. Pada tengah hari Kamis, (15/9/2022), saham diperdagangkan sekitar US$ 8,90, naik sekitar 1,6%.
Di samping itu, Bed Bath & Beyond juga sedang mencari kepemimpinan baru untuk menggantikan CEO dan CFO interimnya. Sebelumnya dewan perusahaan mengeluarkan Mark Tritton dari posisi CEO di 2019.
Gustavo Arnal, yang menjabat CFO juga meninggal karena bunuh diri awal bulan ini. Perusahaan itu juga telah menghilangkan pekerjaan chief store officer dan chief operating officer.
Sementara itu, penutupan ini sendiri dilakukan saat Negeri Paman Sam mengalami inflasi yang cukup tinggi. Pada Agustus, AS mencatatkan inflasi hingga 8,3%.
Artikel Selanjutnya
Meski Naik Tipis, Penjualan Ritel AS Masih Ekspansif
(pgr/pgr)